Salah Sasaran

Sudah menjadi pengetahuan umum bila Indonesia merupakan salah satu negara yang dikategorikan sebagai negara berkembang. Label “negara berkembang” belum pernah lepas dari gambaran Indonesia sejak 1945 padahal di tiap periode pemerintahan berganti, para pemimpin memberikan janji-janji manis, entah itu janji untuk memakmurkan Indonesia, janji untuk menyediakan berbagai fasilitas penyokong kehidupan rakyat, maupun janji-janji lainnya. Namun pada kenyataannya, janji yang diungkapkan oleh para pemimpin itu amat sukar untuk direalisasikan.

Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 261,1 juta jiwa mengantarkan Indonesia meraih gelar negara keempat penduduk terbanyak di dunia (Sumber: www.ilmupengetahuanumum). Lantas berapa banyakkah jumlah penduduk yang berada dalam taraf hidup layak? Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) salah satu indikator masyarakat dikatakan miskin adalah mereka yang hanya memiliki penghasilan sebesar Rp204.896 per bulannya atau Rp6.800 per harinya. Apa yang dapat ada penuhi dengan Rp6.800 per hari? Sudah tercukupikah segala kebutuhan hidup mereka? Tentu saja tidak.

Bila kita menelisik lebih jauh, standar BPS ini sangat berbeda jauh dengan standar World Bank yang menyatakan bahwa indikator kemiskinan adalah orang-orang yang hanya mampu menghasilkan US$3,1 per hari atau yang bila dikonversikan ke rupiah menjadi Rp41.268 per harinya. Batasan world bank tentu saja lebih masuk diakal bila dijadikan sebagai batasan warga miskin dibandingkan batasan yang telah dijadikan patokan oleh BPS. Jika kita menggunakan batasan dari World Bank, jumlah masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 2012 mencapai 104 juta penduduk. Bayangkan, satu dari dua penduduk Indonesia ternyata berada dalam lingkar kemiskinan namun menurut BPS, jumlah masyarakat miskin Indonesia pada tahun 2012 hanya berjumlah 29 juta penduduk.

Melihat jauhnya perbedaan jumlah masyarakat miskin di Indonesia, saya pribadi merasa inilah yang menjadi titik error pembenahan perekonomian Indonesia. Pemerintah berpegang pada data untuk memperbaiki standar hidup 29 juta jiwa padahal yang perlu mereka angkat dari garis kemiskinan lebih dari itu. Kebijakan yang diambil pemerintah mungkin menjadi kurang efektif apalagi efisien untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Bisa dikatakan, saat ini pemerintah salah sasaran.


Maka dari itu, dengan adanya pembelajaran Ekonomi Pembangunan diharapkan nantinya para ekonom Indonesia mampu memberikan pencerahan kepada seluruh pihak terkait untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Bukan hanya berdasarkan standar BPS melainkan mencakp standar dari World Bank. 

Komentar

Postingan Populer