ISTISHAB
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Islam adalah ajaran terakhir yang diriwayatkan Allah SWT kepda Nabi
Muhammad SAW. Tidak ada sesudah nya yang diutus dan tidak terdapat lagi wahyu
yang diturunkan untuk mengatur kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Hal ini
mengisyaratkan bahwa agama islam yang dinyatakan sempurna di akhir hayat
Rasullah itu. Sementara itu, juga terdapat kenyataan lain yang tidak
dapat dibantah yaitu berkembangnya persoalan sosial yang selalu mendesak dan
menimbulkan berbagai corak baru dalam kehidupan masyarakat. Dan kenyataan
itulah yang menyebabkan umat islam selalu dihadapkan kepada suatu tantangan.
Maka disinilah kehadiran ijtihad sebagai salah satu metode
pengambilan hukum (istinbat hukum) syar’i dan sekaligus sebagai saraa
pembaharuan hukum islam terasa signifikan. Secara historis pada dasarnya ijtihad telah tampak pada masa-masa
awal islam, yaitu pada zaman Rasullah SAW kemudian berkembang pada masa sahabat
tabi’in sera masa masa generasi berikutnya.
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan
Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati. Istishab termasuk
dalil hukum islam tidak disepakati penggunaanya di kalangan ulama ushul. Metode
istishab digunakan oleh ulama yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah
hukum melalui empat hukum yang disepakati. Perbedaan pendapat dalam
penggunaanya.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang masalah tersebut, maka masalah
yang dapat di rumuskan ialah:
1.
Pengertian
Istishab dan pandangan ulama mengenai Istishab
2. Kaidah dan bentuk – bentuk Istishab
3.
Ijtihad
dengan menggunakan Istishab
- Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa itu Istishab
2.
Untuk
mengetahui jenis atau bentuk Istishab
3.
Untuk
mngetahui konsep dan aplikasi dari Istishab
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istishab
Kata
istishab bersal dari kata الصحبة
diartikan
“sahabat” atau “teman”. Maka secara lughawi artinya adalah “selalu menemani”
atau selalu menyertai. Penggunaan arti secara lughawi ini sesuai dengan kaidah
istishab yang berlaku dikalangan ulama ushul yang menggunakan istishab sebagai
dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan dimasa
lalu dan secara konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk diamalkan sampai
ke masa selanjutnya.
Sedangkan
istishab secara terminologi (istilah), terdapat beberapa rumusan yang berbeda :
1.
Ibnu
al-Qayyim al Jauziyah.
menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tidak ada, sampai ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum
yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan
perubahannya.
2.
Al
Syaukani.
Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada
prinsipnya tetap belaku pada masa yang akan datang.
3.
Imam
al Asnawiy.
Melanjutkan
berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya,
lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut.
Dari definisi tersebut dapat diambil
pemahaman bahwa istishab adalah menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang
sudah berlaku sebelumnya, sampai ditemukan dalil yang menunjukkan peubahan
keadaan itu, atau menetapkan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu
berdasarkan keadaan, sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Oleh karena itu istishab adalah pemberian hukum tentang ada tidaknya pada masa
lampau lantaran tidak adanya dalil yang menunjukkan indikasi perubahan.
Oleh sebab itu jika seorang mujtahid
berhadapan dengan kasus kontrak atau pemeliharaan yang status hukumnya tidak
ditemukan didalam nash baik Al-Qur’an maupun Hadist atau tidak dditemukan dalil
syara’ yang hukumnya bersifat mutlak, maka kontrak atau pemeliharaan terseut
hukumnya boleh (mubah). Begitu juga semua ciptaan Allah yang ada didunia. Oleh
karena itu bila tidak ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu
tersebut hukumnya boleh (mubah)nsesuai dengan sifat kebolehan yang ada padanya
sejak awal.
Muhammad
Ridha Muzaffar merinci hakikat istishab
itu ke dalam 7 poin sebagai kriteria istishab yang diistilahkannya dengan
muqowwim (المقوم) atau pendukung, yaitu:
a)
Keyakinan
Bahwa keyakinan akan berlakunya suatu keadaan pada waktu yang lalu,
baik keadaan itu dalam bentuk hukum syara’ atau sesuau obyek yang bermuatan
hukum angka.
b)
Keraguan
Bahwa keraguan tentang masih berlakunya keadan yang telah
meyakinkan sebelumnya adalah karena memang waktunya sudah berubah.
c)
Bertemunya
hal yang meyakinkan dan meragukan dalam waktu yang sama
Bahwa keyakinan dan keraguan bertemu pada masa kini, artinya
terjadi keraguan untuk memberlakukan keadaan baru kaena belum belum ada
petunjuk untuk itu.
d)
Keadaan
yang meyakinkan dan meragukan itu waktunya berbeda
Bahwa keadaan yang meyakinkan itu terjadi pada masa lalu, sedangkan
yang meragukan terjadi pada masa kini atau masa mendatang.
e)
Tempat
berlakunya keyakinan dan keraguan itu menyatu
Bahwa apa yang diragukan itu berlaku terhadap suatu keadaan yang
juga sekaligus diyakini.
f)
Masa
berlakunya hal yang meyakinkan mendahului masa berlakunya hal yang meragukan
g)
Keyakinan
dan keraguan secara nyata
Bahwa betul-betul terjadi secara haqiqi (nyata) dan bukan terjadi
secara taqdiri (tersembunyi).
B.
Pandangan Ulama Mengenai Istishab
Para
ulama berbeda pendapat mengeai masalah dapat tidaknya istishab dijadikan
sebagai dalil atau petunjuk dalam berijtihad. Hal ini juga berkaitan dengan
masalah kekuatan istishab sebagai hujjah. Perbedaan pendapat tersebut tidak
meliputi seluruh bentuk istishab, tetapi terbatas pada beberapa bentuk istishab
dan pada beberapa bentuk lainnya, para ulama sepakat untuk menggunakannya dalam
berijtihad.
Pandangan
tersebut dihadapi dalam tiga kelompok berikut:
Pertama,
menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam) istishab tidak bisa dijadikan
dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil.
Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan
datang. Istishab bukanlah dalil karenanyamenetapkan hukum yang ada pada masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang harus dengan dalil, berarti
menetapkan suatu hukum tanpa dalil, halal ini sama sekali tidak dibolehkan
dalam syariat.
Kedua,
menurut mayoritas ulama Hanafiyah, khususnya mutakhirin istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan hukum yang sudah ada sebelumnya dan menganggap hukum
itu tetap berlaku pada masa yang akan datang , tetapi tidak bisa menetapkan
hukum baru yang muncul berikutnya. Artinya istishab hanya bisa dijadikan hujjah
untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang membatalkan hukum itu,
tetapi tidak berlaku untuk menetapkanhukum yang muncul.
Ketiga,
ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah berpendapat bahwa istishab bisa
dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama
belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya adalah sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara
qath’i maupun zanni, maka semestinya hukum-hukum yang telah ditetapkan itu berlaku
terus karena diduga belum ada perubahan.
C.
Kaidah dalam Istishab dan Dasarnya
Istishab
berjalan atas prinsip keraguan yang mengiringi keyakinan dan mengukuhkan
pengamalan yang meyakinkan yang berlaku di masa lalu (sebelumnya) itu. Atas dasar ini ulama merumuskan kaidah
pokok yang populer:
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Apa yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak
dapat dihilangkan dengan suatu yang meragukan.
Menurut Suyuti, dalam
kitabnya, al-Asybah wa Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok itu didasarkan
kepada beberapa hadist Nabi diantaranya adalah:
1.
Hadist dari Abu Hurairah menurut riwayat
Muslim:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئًا اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ اْلَمسْجِدِحَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَرِيْحًا (الحديث).
Bila salah seorang di antaramu merasakan pada
perutnya sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya
itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau
mencium bau.
2.
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri
menurut riwayat Muslim:
اِذَاشَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى
اَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ
(الحديث).
Apabila salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya
apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang
meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan.
D. Bentuk-bentuk Istishab
Ahli ushul fiqh mengemukakan perincian tentang bentuk
istishab dalam beberapa bentuk berikut ini :
1.
Menurut Ibnu Qayyim ada 3 bentuk istishab
a.
Istishab al bara’ah al-ashliyah (البرءةالاصلية)
Menurut Ibn al-Qayyim disebut Bar’at
al-Adam al-Ashliyyah adalah pada prinsip dan dasarnya , sebelum ada yang
menetapkan hukumnya. Hal ini berarti
pada dasarnya seseorang terbebas dari beban hukum, kecuali ada dalil yang menetapkan beban hukum
tersebut.
b.
Istishab sifat yang menentukan hukum syara
Mengukuhkan berlakunya suatu sifat yang
pada sifat itu berlaku suatu ketentuan
hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut
mengalami perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum atau sampai ditetapkannya
hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.
c.
Istishab hukum ijma’
Mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah
ditetapkan melalui ijma’ulama tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda
pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami
perubahan.
2.
Al-Syaukhani mengemukakan bentuk istishab
yang sebagiannya telah mencakup ke dalam yang dikemukakan Ibnu Qayyim, tetapi
ia menggunakan nama lain.
a.
Sesuatu yang ditunjukkan oleh akal atau
syara’ tentang tetap dan berlakunya suatu hukum sampai ada dalil yang
menentukan ketentuan lain dari hukum tersebut.
Bentuk ini tidak terdapat dalam rincian
bentuk istishab dari Ibnu Qayyim. Bedanya, dengan bentuk bara’ah ashliyyah yang
dikemukakan Ibnu Qayyim adalah bahwa bentuk istishab ini telah ada hukumnya
berdasarkan dalil yang menetapkannya. Keadaan adanya hukum ini dinyatakan tetap
berlaku sampai ada perubahan. Para bara’ah ashliyyah pada mulanya tidak ada
ketentuan hukumnya yag diberlakukan selanjutnya.
b.
Tetap memberlakukan keadaan tidak ada
(ketentuan hukum) menurut asalnya
Istishab bentuk ini sama dengan istishab
bara’ah al-ashliyah yang dikemukakan Ibnu Qayyim..
c.
Tetap memberlakukan hukum akal
Pengertian al-hukum al-aqli menurut ulama
Mu’tazilah ialah bahwa akal dapat menetapkan suatu hukum syara’ sebelum
datangnya wahyu berdasarkan kepada
kemampuan akal untuk mengetahui hakikat buruk dan baik pada suatu perbuatan.
d.
Mengukuhkan pemberlakuan hukum ijma
Bentuk istishab ini sama dengan yang
dirinsi oleh Ibnu Qayyim di atas.
3.
Muhammad Abu Zahrah menambah bentuk
istishab. yaitu: “mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum.
Ahli ushul fiqh lain memasukkan bentuk ini ke dalam
istishab bentuk pertama yang dikemukakan al-Syaukani, karena berlakunya suatu
hukum itu tentu adanya dalil syara’ atau setidaknya ada dalil akal yang
menetapkannya. Mengukuhkan yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ itu tetap
berlaku selanjutnya.
4.
Ibnu Subki menambahkan istishab bentuk lain
yang belum disebutkan dalam rincian di atas, yaitu:
“Meneruskan pemberlakuan suatu hukum umum
atau nash sampai datangnya suatu ketentuan yang mengubahnya”
Ketentuan yang mengubah itu mungkin dalam bentuk
mukhassis terhadap dalil semula umum, atau mungkin juga dalam bentuk nasikh
terhadap nash yang dating sebelumnya.
5.
Al-Syaukani mengemukakan rumusan lain yang
sejalan dengan penambahan yang terdapat dalam rumusan Ibnu Subki di atas, yaitu
istishab dalam bentuk
“Meneruskan pemberlakuan suatu dalil di
samping ada kemungkinan dalil yang menyalahinya”
Adakalanya yang menyalahi itu dalam bentuk takhsis
bila dalil semula dalam bentuk zhahir atau dalam bentuk nasakh bila dalil
semula berbentuk nash.
6.
Al-Ghazali mengakui adanya bentuk istishab
yang dikemukakan al-Syaukani tersebut dirumuskan secara lebih lengkap, yaitu:
“Mengukuhkan pemberlakuan hukum-hukum yang
umum sampai dating takhsis dan mengukuhkan pemberlakuan nash sampai datang
nasakh”
Rincian bentuk istishab :
- Mengukuhkan
pemberlakuan prinsi tidak ada menurut asalnya.
- Mengukuhkan
pemberlakuan sebuah dalil di samping ada kemungkinan dalil yang
menyalahinya.
- Mengukuhkan
pemberlakuan apa yang ditunjuk oleh syara’ atau akal tentang tetap dan
berlanjutnya.
- Mengukuhkan
pemberlakuan suatu dalil
- Mengukuhkan
pemberlakuan suatu sifat
- Mengukuhkan
pemberlakuan hukum akal
- Mengukuhkan
pemberlakuan hukum yang ditetapkan dengan ijma.
Selanjutnya al-Sakhrisi membagi istishab ke dalam empat bentuk :
a.
Mengukuhkan
pemberlakuan hhukum suatu keadaan di samping ada pengetahuan secara
meyakinkan tentang tidak adanya dalil yang mengubahnya.
b.
Mengukuhkan pemberlakuan hukum suatu
keadaan sesudah ada dalil yang mengubah yang sedapat mungkin ditetapkan secara
nalar dan ijtihad.
c.
Mengukuhkan pemberlakuan hukum suatu
keadaan sebelum mencari dalil yang mengubahnya melalui cara perhatian yang
mendalam dalam ijtihad.
d.
Mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum dalam
arti untuk menetapkan hukum dari semula.
E.
Ijtihad dengan Menggunakan Istishab
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah dapat
tidaknya istishh
b dijadikan dalil atau petunjuk dalam berijtihad. Hal
ini juga beraitan dengan masalah kekuatan istishh
b sebagai hujah. Perbedaan pendapat ini tidak meliputi
seluruh bentuk istishh
b. Berikut ini akan diuraikan tentang perbedaan pendapatn
ulama mengenai beberapa bentuk istishh
b tersebut:
1.
Istishh
b al-bar
’ah al-ashliyyah
Para ulama dapat menerima penggunaan istishh
b al-bar
’ah al-ashliyyah sebagai dalil berijtihad. Ibn Subki
menyebutkan sebagai hujah secara pasti tanpa terdapat perbedaan pendapat.
Contoh dalam hal ini umpanya seorang ulama ditanya
tentang hokum shalat witir yang dijawabnya, “Tidak wajib.” Sewaktu dimintai
argumentasinya, ulama itu berkata, “Hal yang dapat mewajibkannya hanyalah dalil
syara’. Saya telah mencari dalil syara’ yang mewajibkannya, ternyata tidak ada.
Karena itu maka shalat witir itu hukumnya tidak wajib.”
2.
Istishh
b hukum akal
Istishh
b hokum akal (dalam arti hokum yang ditetapkan oleh akal
sebelum datangnya wahyu) dapat digunakan sebagai dalil atau petunjuk sampai
datang dalil syara’ yang menyatakan hukumnya. Cara seperti ini berlaku di kalaungan
ulama Mu’tazilah, karena menurut mereka akal dapat menetapkan apa yang baik dan
yang buruk berdasarkan kemampuan akal yang juga dapat menetapkan beban hokum.
Apa yang dinyatakan baik oleh akal harus dilakukan dan apa yang dikatakan buruk
oleh akal harus dijauhi, meskipun belum ada syara’ yang mengaturnya. Ulama Ahlu Sunah tidak dapat menerima cara penetapan hokum oleh akal
tersebut. Alasannya karena satu-satunya yang berhak menetapkan hokum itu hanya
Allah melalui wahyu-Nya. Bila akal dianggap tidak berwenang menetapkan hokum,
maka Istishh
b hokum akal itu tidak berlaku.
3.
Istishh
b dalil umum atau nash
Dalil yang menetapkan hokum umum, dapat dilaksanakan
secara praktis setelah ada dalil lain yang menjelaskannya. Dalil lain yang
menjelaskannya itu disebut mukhassis. Sedangkan bentuk penjelasannya
bisa dalam bentuk penjelasan arti kata, penjelasan dalam bentuk perluasan
pengertian, danbisa juga penjelasan dalam bentuk nash atau lahir yang
memberi kemungkinan untuk di-nasakh. Meng- istishh
b-kan dalil umum berarti hokum umum itu diamalkan
menurut apa adanya sebelum menemukan dalil yang men-takhsis-nya. Begitu
pula istishh
b nash berarti nash itu diamalkan menurut aa adanya sebelum
menemukan dalil yang men-nasakh-nya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan istishh
b dengan cara tersebut. Mereka juga berbeda pendapat
dalam hal boleh atau tidaknya mengamalkan hokum umum sebelum ada yang mukhassis-nya.
Di kalangan Hanafiyah, Hanbali dan Syafi’iyah terpecah dalam dua
pendapat. Dari perbedaan pendapat itu, dapat disimpulakan pada tiga kelompok
yang berbeda:
a.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak dapat
beramal dengan dalil umum secara langsung, tetapi harus mencari dan mendapatkan
dahulu dalil yang akan men-takhsis-kannya. Dalam hal ini, golonga ini
tidak mengamalkan istishh
b dalil umum tersebut.
b.
Pendapat kedua justru mengharuskan
mengamalkan dalil umum sebelum menemukan dalil yang men-takhsis-nya;
agar hokum yang umum tidak sampai terbengkalai karena hanya dibayangi oleh
kemungkinan adanya takhsis. Dengan demikian,menurut golongan ini istishh
b umum dapat dijadikan hujah
4.
Istishh
b hokum ijm
Istishh
b hokum ijm
, pengertiannya adalah mengukuhkan hokum yang ditetapkan oleh ijm
tentang masalah yang diperdebatkan.
Bentuknya adalah: ulama sepakat tentang hokum suatu kasus, kemudian ada
perubahan mengenai sifat yang melatarbelakangi adanya kesepakatan ulama
tersebut. Dalam hal ini apakah hokum yang telah ditetapkan berdasarkan ijm
tersebut masih dapat digunakan (berlaku)
atau tidak?
Misalnya,
para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada,
seseorang boleh bertayammum untuk mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan
shalat ia meliha ada air, apakah shalatnya harus dibatalkan kemudian ia
berwudhu atau shalatnya diteruskan. Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah,
orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang
menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka
menganggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa
ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali
shalatnya. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah dan Hanabillah mengatakan orang yang
melakukan shalat dengan tayammum dan ketika shalat melihat air, ia harus
membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang shalatnya itu.
Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat orang yang bertayammum
sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum
sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan
tersediannya air.
Permasalahan yang Ditetapkan Melalui Istishhab
1.
Mempertahankan Wudhu
Seseorang yang memiliki wudu pada salat Zuhur,
kemudian datang waktu Asar, Wudu pada waktu salat Zuhur dapat digunakan untuk
melakukan salat Asar sebelum adanya keadaan yang mengubahnya, seperti buang
air.
2.
Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)
Orang
yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga
beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk
membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati. Dalam kasus ini, para ulama
berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak
boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan
jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah
meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di
kalangan para ulama:
Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup baik
untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain.
Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap
diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi,
dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini
dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i. Hujjah mereka adalah bahwa orang yang
hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena
itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang
mengubah hukum tersebut.
Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak
dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya
dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan
untuk menetapkan hukum baru.
Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan
hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun
telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya
maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya
yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam
Ahmad bin Hanbal.
Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah
pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana menurut
pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat
memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak
pemisahan itu berakhir.
3.
Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain
“2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang
keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang.
Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya,
sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik
dan al-Syafi’i. Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal
itu membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan
selain itu.
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain
kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan
wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah. Pijakannya adalah beberapa
hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka
hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum
berbicara.”(HR. Ibnu Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga
mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain
kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak,
seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka
tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari
Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan
bin Thalhah berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu
menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang
menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi
akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan
demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.
4.
Thalaq Setelah Terjadinya Ila’
Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan
istishhab adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati
istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq
yang raj’i atau ba’in?
Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah
thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim.
Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i. Landasan mereka dalam hal
ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang
telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq
raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum
asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang
menunjukkan itu.
Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah
suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya
adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam
Ahmad bin Hanbal. Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika
penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim
memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat
manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’
adalah menjadi thalaq ba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu
Hanifah.
Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu
bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud
hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh
apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah
berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih
berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara
ba’in.”
Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat
diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan
ijtihad para fuqaha.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah
membaca dan memahami penjelasan diatas dapat kami ambill kesimpulan bahwa
Istishab dapat digunakan sebagai dasar hukum setelah Al-qur’an,As-sunnah,Ijma’
dan Qiyas.Karena “Pangkal sesuatu itu adalah boleh” Selama belum ada dalil yang
merubah ketetapan hukum tersebut,maka sesuatu itu tetap dihukumi boleh.Dengan
catatan selama tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan As-sunnah.
Demikianlah
uraian singkat penulisan ini, dengan berbagai macam kekurangan semoga dapat
menjadi langkah awal bagi penulisnya secara khusus untuk semakin memahami
keindahan Islam melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih di masa datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Hadits
Ridwan. nd. Istishh𝑎 ̂b dan Penerapannya dalam Hukum Islam. Artikel.
Purwokerto
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh cet-7. Jakarta
: Kencana.
Zein, M.Ma’sum.
2013. Ilmu Ushul Fiqh.
Yogyakarta:
Komentar
Posting Komentar