Kegagalan Perubahan Sistem Pendidikan di Indonesia
Masalah pendidikan merupakan permasalahan
yang masih menjadi polemic di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan
jumlah penduduk sebesar 261 juta jiwa, pemerintah Indonesia berusaha untuk
memperbanyak fasilitas pendidikan di penjuru nusantara. Di sebagian besar
negara dunia ketiga, anggaran negara dialokasikan untuk menunjang sektor
pendidikan. Di Indonesia sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
mengatur bahwa dana pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan, minimal wajib
dialokasikan sebesar 20 persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Tujuan utama dari penyediaan fasilitas
pendidikan diantaranya adalah meningkatkan Human Development Index (HDI).
HDI dapat meningkat bila angka buta aksara menurun, angka putus sekolah
menurun, dan rata-rata durasi mengenyam pendidikan meningkat. Meningkatnya HDI
suatu negara dapat menjadi gambaran peningkatan modal negara tersebut untuk
membangun negaranya, semakin baik Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki,
diproyeksikan bahwa tingkat produktifitas negara tersebut semakin baik pula. Bila
dibuat perbandingan, jarak angka melek huruf antara negara maju dan negara
berkembang cukup jauh, di negara berkembang, angka melek huruf berkisar pada
angka 64 persen. Sedangkan di negara maju, tingkat melek huruf telah mencapai
99 persen dari jumlah penduduknya maka tak heran jika tingkat produktivitas
antara negara maju dan berkembang memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Pengaturan sistem pendidikan di Indonesia dari
tiap periode pemerintahan selalu mengalami perubahan. Contohnya saja perubahan
kurikulum, sistem ujian, sistem penilaian kelulusan, dan kebijakan terbaru yang
diterbitkan adalah kebijakan full day school (FDS). FDS merupakan
program pendidikan dimana siswa diwajibkan melakukan kegiatan belajar mengajar
di sekolah dengan durasi waktu yang cukup panjang, mulai dari pagi hari hingga
sore hari.
Pergantian sistem yang terlalu sering
terjadi membuat segala pihak di bidang pendidikan menjadi kewalahan. Di saat
tenaga pendidik fokus pada adaptasi kurikulum 2013 yang amat berbeda dengan
kurikulum 2006, guru harus dihadapkan lagi dengan kebijakan FDS. Hal tersebut
juga terjadi di pihak siswa.
Saya meyakini bahwa tujuan pemerintah
mengganti sistem pendidikan adalah untuk menciptakan sistem pendidikan yang
cocok bagi Indonesia serta mampu menyesuaikan perkembangan zaman. Namun hal
yang perlu pemerintah perhatikan adalah pergantian sistem yang dilakukan hampir
secara bersamaan akan menciptakan culture shock bagi para pelakunya. Pergantian
kebijakan yang dilakukan secara berkala merupakan salah satu langkah yang bisa
dilakukan pemerintah untuk meminimalisir kontra kebijakan tersebut. Sosialisasi
kebijakan juga dirasa perlu dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Pihak orangtua,
siswa dan sekolah akan memiliki waktu untuk berbenah diri dalam mempersipakan
perubahan. Mereka menjadi lebih memahami urgensi dari perubahan kebijakan
sehingga mereka akan mendukug proses pembelajaran yang lebih baik. Coba banyangkan
apa yang akan terjadi bila siswa tidak siap dengan tekanan FDS dan berdampak
pada depresi mental, atau sekolah yang tidak mampu memenuhi ekspetasi mengajar sehingga
jam belajar FDS tidak dapat dikaakan maksimal. Hal tersebut pastinya akan
membawa dampak negative bagi pendidikan Indonesia. Pemerintah tidak dapat
bekerja sendiri untuk membangun negeri. Masyarakat memiliki andil dengan
caranya sendiri, bantuan masyarakat dengan mendukung program pemerintah
sangatlah diperlukan. Maka pemerintah perlu mencari cara untuk menarik minat
masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan baru khususnya di bidang pendidikan.
DAFTAR PUSKTAKA
Tribunnews. Mendikbud Muhadjir: Alokasi Dana
Pendidikan dari APBD Masih Rendah. http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2017/04/24/mendikbud-muhadjir-alokasi-dana-pendidikan-dari-apbd-masih-rendah?espv=1.
Diakses pada 22 November 2017 pada pukul 21.37 WIB
Komentar
Posting Komentar